Belajar Konstruktivis

 

A.  Pengertian dan Perspektif  Konstruktivisme

Menurut paham konstruktivis pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang mengenal sesuatu (skemata). Kontruksi berarti

bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan, Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.

Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum yaitu Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling memengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik miknat pelajar.

Perspektif atau pendekatan pendidikan berkembang dan berubah dari waktu ke waktu. Perspektif pendidikan saat ini, perkembangannya tidak terlepas dari perspektif pendidikan sebelumnya. Bahkan seringkali perspektif yang baru merupakan kombinasi, akumulasi ataupun sinergi berbagai pandangan sebelumnya. Perspektif yang lahir kemudian juga seringkali merupakan reaksi atau koreksi terhadap perspektif yang mendahuluinya.

Perspektif konstruktivisme berakar dari filsafat tertentu tentang manusia dan pengetahuan. Makna pengetahuan, sifat-sifat pengetahuan, dan bagaimana seseorang menjadi ‘tahu’ dan berpengetahuan, menjadi perhatian penting bagi aliran konstruktivisme. Pada dasarnya perspektif ini mempunyai asumsi bahwa pengetahuan lebih bersifat kontekstual daripada absolute, yang memungkinkan adanya penafsiran jamak (multiple perspectives) bukan hanya satu perspektif saja. Hal ini berarti, bahwa ‘pengetahuan dibentuk menjadi pemahaman individual melalui interaksi dengan lingkungan dan orang lain.’ Dengan demikian, peranan konstribusi siswa terhadap makna, pemahaman dan proses belajar melalui kegiatan individual dan social menjadi sangat penting.

Dalam perkembangan selanjutnya, pemikiran barbagai ahli pendidikan, seperti Vygotsky, Piaget, dan John Dewey, terjalin menjadi perspektif konstruktivisme yang mempunyai beragam perwujudan dalam proses pembelajaran. Dapat dikatakan bahwa sebenarnya tidak ada ‘satu-satunya’ pemahaman tentang teori belajar konstruktivisme, yang ada adalah berbagai pendekatan konstruktivisme yang diterapkan dalam berbagai bidang ilmu, yang mempunyai penekanan berbeda. Pemikir konstruktivis, Vygotsky menekankan pentingnya peran konstruksi pengetahuan sebagai proses social dan kebersamaan, sedangkan Piaget beranggapan bahwa factor individual lebih penting daripada factor sosial.

Perspektif konstruktivisme juga mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih menekankan proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan dinilai penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga dinilai penting. Dalam proses belajar, hasil belajar, cara belajar, dan strategi belajar akan mempengaruhi perkembangan tata pikir dan skema berpikir seseorang. Sebagai upaya memperoleh pemahaman atau pengetahuan, siswa ‘ mengkonstruksi’ atau membangun pemahamannya terhadap fenomena yang ditemui dengan menggunakan pengalaman, struktur kognitif, dan keyakinan yang dimiliki. Dengan demikian pemahaman atau pengetahuan dapat dikatakan bersifat subjektif oleh karena sesuai dengan proses yang digunakan seseorang untuk mengkonstruksi pemahaman tersebut. Perkembangan dan perubahan terhadap pemahaman konsep terjadi sesuai pengalaman dan interaksi dengan pandangan lain yang ditemukan kemudian.

Perspektif konstruktivisme ini sering kali diperbandingkan dengan perspektif tradisional objektivis, yang beranggapan bahwa pengetahuan merupakan suatu objek di luar manusia, yang mempunyai sifat objektif dengan struktur tertentu yang jelas. Sebagai konsekuensi dari pandangan ini, pembelajaran dilakukan lebih bersifat sebagai ‘transfer of knowledge’ dari guru kepada siswa. Dalam hal ini siswa lebih banyak menerima saja apa yang disampaikan guru. Sedangkan menurut perspektif konstruktivisme, pembelajaran di kelas dilihat sebagai proses ‘konstruksi’ pengetahuan oleh siswa. Perspektif konstruktivisme mengharuskan siswa bersikap adil. Dalam proses ini siswa mengembangkan gagasan atau konsep baru berdasarkan analisis dan pemikiran ulang terhadap pengetahuan yang diperoleh pada masa lalu dan masa kini.

Dengan demikian, pembelajaran perlu disusun berorientasi lebih kepada kebutuhan dan kondisi siswa, dengan memicu rasa ingin tahu dan keterampilan memecahkan masalah melalui inquiry learning, reflective learning, dan problem-based learning.

Meski konsep konstruktivisme mempunyai interpretasi perwujudan yang beragam, namun terdapat cirri-ciri tertentu yang dipenuhi, yaitu bahwa “belajar merupakan proses aktif untuk mengkonstruksi pengetahuan dan bukan proses menerima pengetahuan. Proses pembelajaran yang terjadi lebih dimaksudkan untuk membantu atau mendukung proses pembelajaran, bukan sekadar untuk menyampaikan pengetahuan”, sehingga penekanannya bukan pada bagaimana ‘mentransfer’ ilmu sebagaimana menyuapi siswa dengan makanan jadi, tetapi pada cara ‘mentransfer’ struktur berpikir dan pengetahuan, di mana siswa mengolah pemahamannya dari yang disiapkan guru.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pemahaman orang tentang konstruktivisme beragam, karena konstruktivisme memang mempunyai beberapa perwujudan tergantung dari sisi mana dilihatnya. Sehingga untuk memahami perspektif konstruktivisme dengan utuh maka perlu untuk membahas dua sisi bentuk konstruktivisme, yaitu konstruktivisme individual (individual constructivism) dan konstruktivisme social (social constructivism). Dalam perspektif konstruktivis suatu pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa dengan menggunakan pengalaman dan struktur kognitif yang sudah dimiliki. Tetapi, hal ini tidaklah berarti tidak dimungkinkannya pemahaman bersama atau pemahaman yang sama terhadap suatu realitas. Sekelompok orang dapat mempunyai pemehaman yang sama terhadap suatu fenomena atau realitas tertentu melalui interaksi social dan kolaborasi bersama dalam membangun makna.

B.     Prinsip Implikasi Konstruktivisme terhadap Pembelajaran

Bagi kaum konstruktivis, belajar adalah proses mengkonstruksi pengetahuan. Proses konstruksi itu dilakukan secara pribadi dan sosial. Proses ini adalah proses aktif, sedangkan mengajar bukanlah memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, dan bersikap kritis. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri. Penggunaan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran akan membawa implikasi sebagi berikut:

a. Isi Pembelajaran

Dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme, guru tidak dapat menentukan secara spesifik isi atau bahan yang harus dipelajari oleh siswa, tetapi hanya sebatas memberikan rambu-rambu bahan pembelajaran yang sifatnya umum. Proses penyajian dimulai  dari keseluruhan ke bagian-bagian, bukan sebaliknya. Mengingat aliran konstruktivisme lebih mengutamakan pemahaman terhadap konsep-konsep besar, maka konsep tersebut disajikan dalam konteksnya yang actual yang kadang-kadang kompleks. Siswa perlu didorong agar ia tidak takut pada hal-hal yang komplek. Siswa perlu memahami bahwa hal-hal yang kompleks akan memberikan tantangan untuk diketahui dan dipahami.

Dalam belajar secara konstruktivis, siswa harus membentuk pengertian dari berbagai sudut pandang, maka dalam proses belajarnya tidak bisa dipisahkan dengan dunia riil dan informasi dari berbagai sumber. Di kelas siswa harus dimotivasi untuk mencari sudut pandang baru dan mempertimbangkan sumber data alternatif.

b. Tujuan Pembelajaran

Tugas guru dalam pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme adalah membantu siswa untuk membangun pengetahuannya sendiri melalui proses internalisasi, pembentukan kembali, dan transformasi informasi yang telah diperolehnya menjadi pengetahuan baru. Transformasi terjadi kalau ada pemahaman (understanding), sedangkan pemahaman terjadi sebagai akibat terbentuknya struktur kognitif baru dalam pikiran siswa. Pemahaman terjadi kalau terjadi proses akomodasi atau perubahan paradigma dalam pikiran siswa. Berlandaskan teoritik, tujuan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme adalah membangun pemahaman. Pemahaman dinilai penting, karena pemahaman akan memberikan makna kepada apa yang dipelajari. Karena itu tekanan belajar bukanlah untuk memperoleh atau menemukan lebih banyak, akan tetapi yang lebih penting adalah memberikan interpretasi melalui skema atau struktur kognitif yang berbeda.

c. Strategi Pembelajaran

Tugas guru adalah membantu agar siswa mampu mengkonstruksi pengetahuannya sesuai dengan situasi konkrit, maka strategi pembelajaran yang digunakan perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi siswa. Guru tidak dapat memastikan strategi yang digunakan, yang dapat hanya sebatas tawaran dan saran. Dalam hal ini teknik dan seni yang dimiliki guru ditantang untuk mengoptimalkan pembelajaran.

Pendekatan konstruktivisme mementingkan pengembangan lingkungan belajar yang meningkatkan pembentukan pengertian dari perspektif ganda, dan informasi yang efektif atau kontrol eksternal yang teliti dari peristiwa-peristiwa siswa yang ketat, dihindari sama sekali. Untuk maksud tersebut, guru perlu melakukan hal-hal berikut: (1) menyajikan masalah-masalah aktual kepada siswa dalam konteks yang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa, (2) pembelajaran distrukturkan di sekitar konsep-konsep primer, (3) memberi dorongan kepada siswa untuk mengajukan pertanyaan sendiri, (4) memberikan siswa untuk menemukan jawaban dari pertanyaan sendiri, (5) memberanikan siswa mengemukakan pendapat dan menghargai sudut pandangnya, (6) menantang siswa untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam, bukan sekedar menyelesaikan tugas, (7) menganjurkan siswa bekerja dalam kelompok, (8) mendorong siswa untuk berani menerima tanggung jawab, dan (9) menilai proses dan hasil belajar siswa dalam konteks pembelajaran.

d. Penataan Lingkungan Belajar

Penataan lingkungan belajar berdasar pendekatan konstruktivistik diidentifikasikan dengan alternatif sebagai berikut; (1) menyediakan pengalaman belajar melalui proses pembentukan pengetahuan dimana siswa ikut menentukan topik/sub topik yang mereka sikapi, metode pembelajaran beriku tstrategi pembelajaran yang dipergunakan, (2) menyediakan pengalaman   belajar yang kaya akan alternatif seperti peninjauan masalah dari berbagai segi, (3) mengintegrasikan proses belajar dengan konteks yang nyata dan relevan dengan harapan siswa dapat menerapkan pengetahuan yang didapat dalam hidup sehari-hari, (4) memberikan kesempatan pada siswa untuk menentukan isi dan arah belajar mereka dengan menempatkan guru sebagai konsultan, (5) peningkatan interaksi antara guru dengan siswa dan antar siswa sendiri, (6) meningkatkan penggunaan berbagai sumber belajar disamping komunikasi tertulis dan lisan, (7) meningkatkan kesadaran siswa dalam proses pembentukan pengetahuan mereka agar siswa mampu menjelaskan mengapa/bagaimana mereka memecahkan masalah dengan cara tertentu.

e. Hubungan Guru-Siswa

Dalam aliran kostruktivisme, guru bukanlah seseorang yang mahatahu dan siswa bukanlah yang belum tahu, karena itu harus diberi tahu. Dalam proses belajar, siswa aktif mencari tahu dengan membentuk pengetahuannya, sedangkan guru membantu agar pencarian itu berjalan baik. Dalam banyak hal guru dan siswa bersama-sama membangun pengetahuan. Dalam hal ini hubungan guru dan siswa lebih sebagai mitra yang bersamasama membangun pengetahuan.

Untuk mengidentifikasi sejumlah karakteristik hubungan guru-siswa dalam pembelajaran dengan pendekatan konstruktivistik berikut ini: (1) hubungan antara guru dengan siswa diupayakan terjadi secara optimal, (2) pembelajaran perlu difokuskan pada kemampuan siswa untuk menguasai konsep dan mengutarakan pandangannya, (3) evaluasi siswa terintegrasi dalam proses belajar mengajar melalui observasi terhadap siswa yang umumnya bekerja dalam kelompok, (4) aktivitas siswa lebih ditekankan pada pengembangan generalisasi dan demonstrasi, (5) aktivitas pembelajaran relatif tergantung pada isi yang menyebabkan siswa berpikir.

C.    Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivisme

Proses belajar sangat berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan peserta didik, karena pengetahuan yang telah diperoleh dan dimiliki seseorang akan membentuk suatu jaringan struktur kognitif dalam dirinya. Pada bagian ini akan membahas proses belajar dari pandangan konstruktivistik, baik dari aspek-aspek  pelajar, peranan guru, sarana belajar, dan evaluasi belajar.

Proses belajar konstruktivisme menurut paham konstruktivisvistik, manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan cara mencoba  memberi arti pada pengetahuan sesuai dengan pengalamannya. Esensi dari teori konstruktivistik adalah siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Sehingga dalam proses belajar, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka dengan keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar mengajar.

Pengelolaan pembelajaran konstruktivisme harus diutamakan pada pengelolaan siswa dalam memperoleh gagasannya, bukan semata-mata pada pengelolaan siswa dan lingkungan belajarnya bahkan pada prestasi belajarnya yang dikaitkan dengan sistem penghargaan dari luar seperti nilai, ijazah, dan sebagainya. Karena ibaratnya siswa lahir dengan pengetahuan masih kosong, mencoba melakukan interaksi dengan orang lain dan lingkungan sehingga siswa mendapat pengetahuan awal yang diproses dari pengalaman belajar untuk memperoleh pengetahuan yang baru.

Peranan Siswa (Si-pelajar), Menurut teori konstruktivisme, belajar adalah proses pemaknaan atau penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Proses tersebut harus dilakukan oleh siswa (pelajar), karena pembelajaran konstruktivistik lebih banyak diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau pandangan  pelajar. Sehingga siswa bisa memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan yang dipelajari. Dalam pembelajaran konstruktivistik, siswa menjadi pusat kegiatan dan guru sebagai fasilitator. Akan tetapi kadang guru harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan agar terbentuk proses belajar yang optimal sehingga siswa termotivasi untuk belajar dan menggali informasi. Namun pada akhirnya yang paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar dari siswa itu sendiri. Dengan kata lain, bahwa pada dasarnya hakekat kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa.

Guru berperan sebagai fasilitator artinya membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri dan proses pengkonstruksian pengetahuan berjalan lancar. Guru tidak mentransferkan pengetahuan yang dimilikinya pada siswa tetapi dituntut untuk memahami jalan pikiran atau cara pandang setiap siswa dalam belajar.
Peranan utama guru dalam interaksi pendidikan adalah pengendalian, yang meliputi:

  1. Menumbuhkan kemandirian pada siswa dengan memberikan kesempatan untuk bertindak dan mengambil keputusan.
  2. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa agar dapat melakukan sesuatunya dengan baik.
  3. Memberikan kemudahan dalam belajar dengan menyediakan fasilitas yang mendukung dan memberi peluang yang optimal bagi siswa.

Pusat kegiatan pembelajaran konstruktivisme adalah siswa. Dalam proses belajar, siswa berusaha menggali dan membentuk pengetahuannya sendiri serta bebas dalam mengungkapkan pendapat dan pemikirannya. Sehingga segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu proses belajar tersebut. Dengan demikian, siswa akan terbiasa dan terlatih untuk berpikir sendiri, mandiri, kritis, kreatif dan mampu bertanggung jawab. Evaluasi belajar. Lingkungan belajar dimana kegiatan belajar dilaksanakan sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas. Sedangkan menurut pandangan konstruktivistik, realitas ada pada pikiran seseorang, sehingga manusia mengkonstruksi dan menginterpretasikannya berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya sendiri.
Pandangan konstruktivisme menggunakan goal-free evaluation, yaitu suatu konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi pada tujuan spesifik. Evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil belajar konstruktivistik, memerlukan proses pengalaman kognitif bagi tujuan-tujuan konstruktivistik. Evaluasi merupakan bagian utuh dari belajar dan menekankan pada keterampilan proses dalam kelompok. Bentuk-bentuk evaluasi ini dapat diarahkan pada tugas-tugas autentik, tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermakna serta menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata serta mengkonstruksi pengetahuan yang menggambarkan proses berpikir yang lebih tinggi dan mengkonstruksi pengalaman siswa dan mengarahkannya pada konteks yang lebih luas.

D.    Aspek-aspek Pembelajaran Konstruktivime

Fornot mengemukakan aaspek-aspek konstruktivime sebagai berikut: adaptasi (adaptation), konsep pada lingkungan (the concept of envieronmet), dan pembentukan makna (the construction of meaning). Dari ketiga aspek tersebut J. Piaget berpendapat bahwa adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.

Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru perngertian orang itu akan  berkembang.

Akomodasi, dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dimiliki. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan. Akibat ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang ada yang akan mengalami atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang. Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya.

Konstruktivisme Vygotsky memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan memalui adaptasi intelektual dalam konteks social budaya. Proses penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis Vygotsky lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual.

Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah: (1),  mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi social yang dimulai proses pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan, (2) zona of proximal development. Pembelajar sebagai  mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi.

Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakikat pembelajaran sosiakultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan social pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, funsi kognitif manusia berasal dari interaksi social masing-masing individu dalam konteks budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development mereka. Zona  of proximal development adalah daerah antar tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan memecahkan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu.

Pengetahuan  dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara social dalam dialog dan aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna adalah dialog antar pribadi.dalam hal ini pebelajar tidak hanya memerlukan akses pengalaman fisik tetapi juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu lain. Pembelajaran yang sifatnya kooperatif (cooperative learning) ini muncul ketika siswa bekerja sama untuk mencapai tujuan belajar yang diinginka oleh siswa. Pengelolaan kelas menurut cooperative learning bertujuan membantu siswa untuk mengembangkan niat dan kiat  bekerja sama dan berinteraksi dengna siswa yang lain. Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kelas yaitu: pengelompokan, semangar kooperatif dan penataan kelas.

 

DAFTAR PUSTAKA

Annisa, Aklama. 2011. Teori Belajar Konstruktivisme. http://edukasi.kompasiana.com/2011/10/24/teori-belajar-konstruktivisme. Diakses pada tanggal 2 Oktober 2011.

Anonim .2010. Kontruktivisme. http://en.wikipedia.org/wiki/Constructivism. Diakses pada tanggal 2 Oktober 2011.

Budiningsih, A.C. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Gasong, dina.2009. Kontruktivisme. http://en.aspek.konstruktivisme.org/wiki. Diakses pada tanggal 2 Oktober 2011.

Hamzah. 2008. Teori Belajar Konstruktivisme. http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/08/20/teori-belajar-konstruktivisme. Diakses pada tanggal 2 Oktober 2011.

Pranata.2008.Belajar Kontruktivisme. http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/. Diakses pada tanggal 2 Oktober 2011.

Suparno, P.1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta:Kanisius.

Surianto. 2009. Teori Pembelajaran Konstruktivisme. http://surianto200477.wordpress.com/2009/09/17/teori-pembelajaran-konstruktivisme/. Diakses pada tanggal 2 Oktober 2011.